Dalam harian Kompas beberapa waktu lalu disebutkan, komitmen Indonesia dalam melaksanakan tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals
atau MDG’s) mengalami penurunan yang signifikan. Posisi terakhir, hanya
dapat disejajarkan dengan Myanmar dan negara-negara Afrika umumnya.
Jangan tanya negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang di
dasawarsa 70-an banyak belajar dari Indonesia, dengan mendatangkan
sejumlah mahasiswa ke berbagai perguruan tinggi dan para pekerja minyak
ke Pertamina. Jadilah University of Malaysia dan Petronas seperti
sekarang, meninggalkan jauh “guru”-nya.
Selain pendidikan dan perminyakan, salah satu yang paling menonjol
ialah tentang kesetaraan gender yang merupakan salah satu indikator
MDG’s.
Berbicara soal pergerakan perempuan Indonesia, sebenarnya tak
terlepas dari kemajuan bangsa Indonesia sendiri. Gerakan emansipasi yang
banyak didengungkan organisasi wanita barat mem-booming pada
dasawarsa kedua di abad ini. Hal tersebut direspon oleh para elit wanita
Indonesia dengan melaksanakan Kongres Perempuan Indonesia I di
Yogyakarta, pada akhir tahun 1928. Ini dapat dikatakan sebagai
kemerdekaan kaum perempuan, yang mendahului kemerdekaan negara Indonesia
sendiri.
Secara sosial budaya, peristiwa ini merupakan tonggak sejarah
kemajuan wanita Indonesia. Bayangkan saja, pada masa itu kungkungan adat
sering dituding menomorduakan wanita Indonesia di belakang kaum pria.
Demikian pula penterjemahan yang salah dari dogma agama, seolah menjadi
pembenaran bahwa kaum perempuan harus berada di belakang kaum adam dalam
segala aspek dan bidang kehidupan.
Dari peristiwa Kongres Perempuan Indonesia I tadi dapat dikatakan,
respon perempuan Indonesia waktu itu, untuk mengadakan kongres adalah
suatu proses perubahan sosial-budaya, yang merupakan bagian dari proses
pembangunan masyarakat Indonesia.
Sama halnya seperti lahirnya sejumlah program penanggulangan
kemiskinan yang mulai dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1990, tentang
Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) untuk hal yang bersifat ekonomi
kerakyatan. Program IDT disusul dan dilengkapi P3DT untuk kegiatan
infrastruktur pedesaan. Selanjutnya “dikawinkan” melalui program PPK
yang menangkap kedua program (ekonomi dan infrastruktur) yang dikenal
dengan open menu. Kemudian disusul dengan kegiatan sejenis untuk di
perkotaan dengan nama P2KP.
Namun, sebenarnya yang membedakan adalah payung besarnya. PPK melalui
Kementrian Dalam Negeri, dan P2KP melalui Departemen Pekerjaan Umum,
meski keduanya sama-sama menyitir pemberdayaan perempuan sebagai salah
satu isunya.
Secara socio-anthropologist, suatu pembangunan dapat dikatakan
sebagai suatu proses yang secara sengaja diadakan untuk mendorong
perubahan sosial budaya ke suatu arah tertentu. Sedangkan perubahan
sosial budaya, seperti yang dikatakan Antropolog dan peneliti senior
LIPI EKM Masinambow, merupakan suatu proses perubahan yang mencakup,
antara lain menggeser hal-hal yang sudah ada, menggantikannya,
mentransformasikannya, dan menambah yang baru, yang kemudian berdiri
berdampingan dengan hal-hal uang sudah ada.
Kembali ke masalah pembangunan yang berwawasan gender (Gender Equitable Development atau GED) yang di Indonesia saat ini sering dikaitkan dengan kemiskinan dan pembangunan yang tak berkelanjutan. Ahli Community Capacity Building lulusan Columbia University (AS), Aisyah Muttalib mengatakan, GED adalah suatu transformasi untuk men-gender-kan
(en-gender) ekonomi hingga akan terwujud suatu tatanan ekonomi baru, di
mana pemerataan gender dipegang sebagai suatu nilai yang paling
mendasar.
Ekonomi baru seperti inilah yang telah dijalankan oleh seluruh wanita
di dunia secara otomatis sebagai kodrat kewanitaannya. Mereka mengelola
sumber daya demi mempertahankan segalanya. Bukan saja kehidupan diri,
tapi juga keluarganya, masyarakat, dan anak-anak yang dilahirkannya.
(Tety Hartya, Praktisi Pemberdayaan Perempuan/Ari Hariadi, mantan Community Development & Women In Development NTT-WRDS CIDA, KMW I P2KP-2 Kalbar; Nina)
http://www.p2kp.org/wartaarsipdetil.asp?mid=1669&catid=2&
0 komentar:
Posting Komentar